Wednesday, August 29, 2012

Un Amore Finito

There are songs from the old days 
when you still named your screen with my name.. 
I stay awake just to listen, 
the songs are only whispering through memories. 
and as the sounds collide in thousand echoes, 
I turn off my heart, 
I shut down my mind for not sensing your beat 
or figuring out the picture of you 

 And I log out for good.


Tuesday, August 14, 2012

Sepetik Cerita Kala Daun Berguguran di Bulan Mei

18 jam bergumul dengan kelelahan sepanjang perjalanan pantai utara akhirnya sampai juga di tanah si Pitung, Jakarta pukul 5 pagi. Seharusnya kemarin aku sudah sampai disini, tapi ibu memaksaku tinggal sehari karena bersamaan dengan 100 hari sejak pamanku berpulang.

 Masih segar dalam ingatan saat kelulusan, aku sempat berjanji untuk tinggal dan bertarung di hutan beton yang sarat akan persaingan dan kekerasan. Hari ini tepat 6 bulan sejak aku menunggu lamaranku diterima oleh sebuah perusahaan swasta di kawasan elit, Sudirman. Berbekal tabungan selama masa kuliah, uangku terkumpul untuk membayar uang kos, mengirim motor bekas yang baru saja aku beli dan hidup secukupnya sampai gajian di bulan berikut.

 Sedikit kesulitan mencari akhirnya kutemui alamat tinggalku, sebuah tempat kost di daerah Cempaka Putih dengan kamar mandi seadanya serta kasur yang jauh lebih buruk dibanding milik Mas Jarwo, tukang sortir plastik di daerahku. Tapi, aku tak mau ambil pusing. “1 tahun dari hari ini aku akan tinggal di kamar kos yang lebih baik seperti kamar milik sepupuku yang terlebih dulu tinggal di Jakarta dan memiliki kasur empuk seperti iklan di TV”, begitu janjiku dalam hati.

 Jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Secangkir kopi belum habis kureguk ketika terdengar keributan banyak orang di depan kamar kos. Ya Tuhan, berita di TV menjadi live show di depan mataku! Entah bagaimana awalnya yang jelas aku melihat seorang lelaki penuh tato bersimbah darah dikejar kerumunan orang dan terjatuh dengan wajah memelas memohon pengampunan. Aku tercekat dibalik kaca nako kamar dan tak mengerti harus berbuat apa, terlebih ketika sebuah golok mengayun disertai suara teriakan! Aku palingkan muka dan menutup telinga, tak tega menyaksikan apa yang terjadi berikutnya. Ilmu beladiri yang sedari kecil aku pelajari mendadak hanya sebuah teori, kali ini nyaliku menjadi ciut. Mungkin dia maling, mungkin dia perampok, mungkin dia… begitu pikirku. Ah sudahlah, buru-buru aku beringsut keluar tanpa menghiraukan kopiku lagi. Rumah kosku terdiri dari 2 pintu yang memungkinkan bagi para penghuni kos keluar dan masuk dari arah utara dan timur. Dan aku memilih timur ketimbang utara yang sudah jelas masih bersimbah darah.

Perjalanan menuju kantor dan berdesakan bersama puluhan orang dalam busway, sedikit membuatku tenang. Aku memilih posisi paling ujung yang aku rasa membuatku lebih leluasa. Bayangan wajah lelaki itu masih tampak jelas berkelebat dalam ingatan. Aku menggelengkan kepala berkali-kali demi menghilangkan bayangan tersebut. Sebuah usaha yang sia-sia namun cukup membuatku tersadar ketika beberapa orang memerhatikan tingkahku. 

2 jam perjalanan aku lalui dengan diam. Kecuali telingaku yang mendengar berbagai percakapan diselingi hatiku berucap istigfar atas berbagai kerusuhan di Jakarta baru-baru ini. Sesampainya di kantor, tanpa prosedur berbelit aku duduk di meja yang telah disediakan buatku. Sedikit beramah tamah, aku akui bahwa orang Jakarta tidak seperti yang orang bilang, sombong, egois dan lain-lain. Setelah saling berkenalan, tiba waktunya aku memperoleh briefing dari seniorku sesuai deskripsi kerja yang telah aku pelajari sebelumnya. Sesaat aku terlupa dengan tragedi pagi tadi karena kesibukan pekerjaan. Tapi itu hanya sebentar, karena sebuah teriakan memilukan membuyarkan seluruh orang dalam ruangan! Saudara teman sekantorku telah menjadi korban pemerkosaan sekumpulan penjarah di daerah kota. Seketika aku ragu akan penilaianku atas keramahan Jakarta.

Hari ini, kota Jakarta berubah wajah menjadi merah oleh amarah. Kerusuhan meletus dimana-mana dan seluruh kegiatan bisnis lumpuh total! Aku yang tengah gugup hanya memikirkan bagaimana caranya pulang sambil tak henti mata menatap layar TV. Gemerlap kota Jakarta mendadak gulita, digantikan kobaran api yang terlihat jelas di puncak gedung tempatku bekerja. Dan aku teringat nasib lelaki bertato pagi tadi. Aku teringat ibuku. Ayahku. Saudara perempuanku. Aku teringat impianku yang sepertinya tak lagi bernyawa.
Dan aku teringat motorku yang harus aku ambil ke stasiun kota besok pagi...

-Jakarta, Mei 1998-