Ingin pulang...
Bukan kembali ke waktu kecil saat rumah masih ada
Tapi pulang ke ibu bapak kini berada
Lelah, capek, ngilu di hati membawa keinginan berkepanjangan untuk pulang.
: Bu, pak... aku pulang... :)
Ingin pulang...
Bukan kembali ke waktu kecil saat rumah masih ada
Tapi pulang ke ibu bapak kini berada
Lelah, capek, ngilu di hati membawa keinginan berkepanjangan untuk pulang.
: Bu, pak... aku pulang... :)
Saya mengingat seseorang yang dulu menaruh hatinya di meja.
Yang setiap hari menanyakan perihal hatinya,
apakah masih ada di atas meja.
Suatu hari, hatinya saya bawa walaupun bersama hati yang lain.
Dia senang, saya juga senang...
Tetapi hari ini hati itu hilang.
Katanya, karena saya menaruhnya di tempat yang salah.
Padahal saya bilang tempat itu adalah tempat terbaik yang saya punya,
untuk menaruh hatinya.
Sayang dia tidak menerima.
Dan saya tidak lagi memiliki hatinya.
Sekarang hati itu pergi dengan segala caci maki.
Hidup di kehidupan yang tidak dapat dipijak.
Menjadi manusia lain, bukan diri sendiri.
Karena tak mampu, karena hidup tanpa pijakan.
Jika tanpa pijakan jangan mencoba berdiri...
Memaksakannya hanya akan membuatmu jatuh.
Jatuh adalah menyakitkan.
Dan menyakitkan adalah kehidupanmu sekarang.
Akui saja.
Ada titik berjalan menjauhi kalimat.
Menginginkan kalimat tersebut berlanjut, tidak berhenti.
Namun memang harus disudahi,
Jika tak mampu lagi menulis kata pengharapan di ujung kalimat.
Mungkin penempatan titik masih ragu-ragu,
sehingga ia masih mampu berjalan menjauh.
Coba benamkan lagi, benamkan sedalamnya !
Jika memang tidak bisa berusaha lagi membuat harapan,
biarkan kalimat itu terhenti sampai disini
meski masih banyak halaman yang belum terisi.