Rintik hujan sore ini sangatlah sepi. Padahal puluhan orang lalu
lalang berkejaran dengan hujan yang mulai menderas. Beberapa diantaranya masuk
ke dalam kafe kecil tempatku mereguk hangatnya kopi.
“Kita putus..” begitu ucap kamu, seakan sengaja menyapa sudut
airmataku.
Sekujur tubuhku lemas. Tenagaku raib, terpana pada kegelapan sesaat.
Aku tau kamu tidak main-main dengan ucapanmu. Aku kenal kamu. Kamu bukanlah
orang yang mudah menjatuhkan kata sakral seperti itu tanpa alasan. Dan kini aku
memandangmu meminta penjelasan. Matamu berputar menjauh dari mataku.
“Kenapa, Joe? Ada apa ini?” Suaraku mengejutkanmu. Oh! Bahkan di saat
kamu memutuskanku pikiranmu sempat berkelana menembus hujan. Kamu terdiam.
Lesu.
Lalu aku meletakkan cangkir kopi dan meraih lenganmu yang dengan sigap
kamu tepis, seolah tak mau aliran rasa kita menyurutkan niatmu.
“Aku menghamili Vina, Sin..” Jawabmu lirih namun lebih menggelegar
dibanding petir yang meloncatkanku pada ketidakpercayaan.
“….”
Mendadak lidahku kelu. Mataku ternganga, seolah ingin menelanmu. Lalu
berkerjap sambil mengharap ini sekedar mimpi. Atau tiba-tiba kamu tergelak
sambil berucap “GOTCHA!”. Tapi tidak. Ini nyata. Dan sebutir airmata
mengembalikan pikiranku pada kenyataan pahit. Kenyataan bahwa seseorang yang
aku cintai selama 10 tahun terakhir ini mampu menitikkan noda pada seseorang
yang telah aku anggap sahabat. Mungkin aku terlalu naïf, beranggapan bahwa
diantara kamu dan dia tak akan ada cinta. Tapi aku salah. Bahkan cinta telah
membenihkan hasilnya.
Selanjutnya segala penjelasan dan beribu maaf yang kamu lontarkan tak
ada satupun yang mampu menembus ranah logika dalam pikiranku. Sungguh, aku
kecewa. Marah. Sedih. Tak percaya.
Vina memang “lebih” dalam banyak hal, aku sadar itu. Dan rasanya aku
tak perlu lagi mencari penjelasan mengapa atau bagaimana hal itu bisa terjadi.
Satu hal yang pasti, kamu telah tergoda.
Seharusnya aku tidak membiarkan kalian saling kenal. Seharusnya aku
tidak meminta tolong padamu untuk membantunya. Seharusnya aku sudah mulai
curiga ketika kalian jadi sering pergi bersama.
Vina adalah sahabatku selama bertahun-tahun. Kecantikan yang menjadi
salah satu kelebihannya sanggup meluluhkan hati banyak pria. Tak terkecuali
seorang pengusaha muda. Kemudian Vina menikah dan menghilang tanpa jejak.
Hingga dia datang dalam kehidupanku setelah 4 tahun lamanya, berurai airmata.
Pesona kecantikannya tak seawet usia perkawinannya karena alasan KDRT. Klise
dan klasik. Aku memberi sebagian waktuku bagi Vina untuk berbagi perih dan
sedih, agar membantunya untuk move on. Dan membiarkan Vina tinggal sementara,
setidaknya setelah dia memperoleh tempat tinggal baru. Aku membawa serta Joe masuk
dalam kehidupan Vina untuk ikut memberinya dukungan. Tak lama kemudian sebuah
tugas kantor membawaku menjauh dari mereka sampai 6 bulan dan merelakan
kebersamaanku bersama Joe seolah tergantikan oleh Vina.
Hujan semakin deras. Tapi airmataku mengering. Masih terduduk dalam
lamunan panjang dan seketika sebuah kemarahan yang dingin menyelinapiku. Aku
telah mengorbankan banyak hal demi kamu! Uang, tempat tinggal, pekerjaan dan
lebih parah lagi, orang tua hanya agar dapat tinggal di kota ini. Aku rela
ketidaksetujuan mereka atas hubungan ini menyeretku pada kenyataan bahwa aku
tidak lagi dianggap sebagai putri mereka.
Dan sentuhan lengan Joe membangunkan kemarahan yang telah menyeruak
keluar dari batas logika. Aku memandang bola mata Joe begitu dalam hingga
sebuah kegelapan menjelma jadi tabir kelam yang menutupi mataku.
“Jleb..jleb…jleeeeb!!”
3 buah tusukan pada leher Joe menyempurnakan kemarahanku. Darah
menyembur menutupi sebagian kemeja putihnya. Tubuh besarnya menggelosor ke
lantai dengan suara tercekik. Pandangan matanya seolah tak percaya. Dan
orang-orang hanya mampu terpana dalam pandangan takjub ketika satu tusukan
terakhirku menghiasi dada Joe dengan pisau. Begitu dingin kemarahan ini. Betapa
pekat kesedihan ini. Demikian hening perasaan ini hingga aku tak menyadari
kehadiran Vina yang tergagap tanpa mampu berkata-kata.
Dan akupun melangkah keluar.
No comments:
Post a Comment