Aku terbangun dan mendapati diriku berada dalam ruangan. Bukan, bukan
ruangan! Tapi dataran luas tanpa batas! Putih tanpa noda setitik. Beberapa
orang berpakaian putih mengelilingiku. Terdengar mereka memanggil.
“Lisa… Lisa.. “
Lintasan kejadian menghambur di kepala, ketika alat defibrilator mengejutkan
jantungku, berusaha menarikku dari dataran luas tanpa batas tersebut. Aku harus
hidup! Harus! Aku berjuang menjawab mereka yang memanggilku, namun mulutku
rapat terkunci dan potongan demi potongan kejadian mulai tersusun di pikiranku.
***
Sebuah mobil berhenti di depan
rumah. Setengah berlari, aku membuka pintu dan kudapati seseorang yang kucintai
tersenyum lebar. Di tangannya terdapat seikat mawar dan sebentuk kado warna
biru.
“Happy anniversary!” katanya
sambil memelukku. Ini adalah tahun keenam kami bersama.
Aku membalas pelukan dengan ciuman bertubi-tubi sebagai pelampiasan
rasa rindu. Hubungan kami terpisah jarak ratusan kilometer, dan kali ini dia
sengaja meninggalkan kesibukkannya demi merayakan cinta kami. Aku raih
lengannya, menggenggamnya erat dan membimbing dia masuk ke dalam rumah. Aku
sangat bahagia.
Musik menyatu dalam percakapan kami, diselingi gurauan dan derai tawa.
Begitu lepas, begitu bebas. Segala kerinduan tumpah ruah di sini. Semua, terasa
lengkap. Sampai sebuah gebrakan pintu mengejutkan kami tiba-tiba! Seorang
lelaki bertopeng, berbadan besar menyeruak masuk. Dia menodongkan pistol.
“Diam di tempat!!” Teriak lelaki itu, ketika kekasihku mencoba
berdiri.
Seketika aku lemas, ini perampokan! Jeritku dalam hati. Lelaki itu
bergerak cepat. Gagang pistol digunakannya menghantam kekasihku hingga
terjerembab tak sadarkan diri. Aku
berteriak penuh amarah sambil memeluk kekasihku. Namun tangan kekar lelaki itu
menjambak rambutku dan menyeretku menuju kamar. Aku menjerit, menangis sambil
memohon agar ia menghentikan perbuatannya. Perlawananku sia-sia.
Ia memukul, menamparku berkali-kali dan melengkapi naluri tergelapnya
dengan mulai melucuti pakaianku. Aku mengiba tak berdaya. Tiba-tiba, tubuh
kekar itu tersungkur. Kudapati kekasihku tersadarkan, ia melempar sebuah guci
ke kepala sang perampok. Aku merasa lega sesaat, sebelum perampok itu kembali
bangkit dan berusaha menggapai pistolnya yang terpental. Kekasihku mendorongnya
sekuat tenaga, seraya berteriak memintaku keluar mencari pertolongan. Tetapi
kepanikan mengarahkan tanganku meraih pisau di atas meja, dan tiba-tiba suara
teriakan membuyarkan segalanya. “NOOOOOOO!!!!!!!” Itu suara kekasihku! Ya,
suara itu! Bersamaan suara letusan beruntun terdengar. “DOORR! DORR! DOR!!”
Aku terhempas! Suara yang kudengar sirna.. Kini yang kulihat kubangan
darah di sekitarku! Dan, oh tidaaakk.. Aku terpekik dalam hati. Kulihat kekasihku
roboh tepat di sisiku. Matanya yang teduh tak berkejap memandangku, aku ingin mendekapnya. Sangat ingin, ingin
sekali.. Lalu semuanya berubah gelap.
***
“Lisa… Lisa..“. Suara orang-orang berbaju putih kini kian jelas
terdengar. Aku tersedak dalam kesadaran bahwa aku kembali pada kehidupan.
Mereka tersenyum seolah merayakan kematian yang gagal membawaku. Mereka salah,
aku hidup karena aku memang menginginkannya. Sebutir peluru tak cukup untuk
mematikan kemarahanku, ketika kutahu dua peluru melesat menembus jantung
kekasihku dan memisahkan kami selamanya. Aku harus hidup! Kematian tak akan
sudi menjamahku, sebelum kupastikan tiga butir peluru tertanam di kepala lelaki
yang membawaku berada di sini.
No comments:
Post a Comment